Rabu, 06 Juni 2012

. AKUNTANSI BEA MATERAI




PENDAHULUAN

I. PENGERTIAN

Bea Materai adalah biaya pengesahan secara hukum atas dokumen berharga dan penting oleh negara



II. OBYEK BEA MATERAI

a. Surat perjanjian dan surat lainnya (surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata;

b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;

c. Akta yang dibuat pejabat pembuat tanah (PPAT) dan rangkapnya;

d. Dokumen/surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 250.000,-;

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,-

f. Dokumen yang digunakan sebagai bukti di pengadilan;

g. Cek dan bilyet giro tanpa batasan nilai nominal;

h. Efek dengan nama dan bentuk apapun.



III. TARIF BEA MATERAI

Menurut PP no. 24/2000 tarif bea materai Rp 3.000,- dan Rp 6.000,-.

Dokumen yang dikenakan tarif bea materai Rp 3.000,- adalah:

a. Surat perjanjian, surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan;

b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;

c. Akta yang dibuat pejabat pembuat tanah (PPAT) dan rangkapnya;

d. Dokumen/surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,-;

e. Surat berharga yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,-;

f. Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan;

g. Efek dengan nama dan bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,-.



Dokumen yang dikenakan tarif bea materai Rp 6.000,- adalah:

a. Dokumen yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 250.000,-, tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,-

b. Surat berharga yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,-, tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,-

c. Efek dengan nama dan bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 250.000,-, tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,-

d. Cek dan bilyet giro tanpa batasan nilai nominal.



IV. SAAT TERUTANGNYA BEA MATERAI

a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, terutang bea materai saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen dibuat;

b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, terutang bea materai saat dokumen selesai dibuat dan ditandatangani pihak-pihak bersangkutan;

c. Dokumen yang dibuat di luar negeri, terutang bea materai saat dokumen digunakan di Indonesia.

Pihak yang terutang bea materai adalah pihak yang memperoleh manfaat dari dokumen tersebut.



V. CARA PELUNASAN BEA MATERAI

a. Dengan benda materai (berupa kertas materai dan atau benda materai);

b. Menggunakan cara lain yaitu:

 Dengan membubuhkan tanda bea materai lunas dengan mesin teraan materai;

 Dengan membubuhkan tanda bea materai lunas dengan teknologi percetakan;

 Dengan membubuhkan tanda bea materai lunas dengan sistem komputer.

c. Pemeteraian kemudian, yaitu cara pelunasan bea materai yang dilakukan oleh pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea materainya belum dilunasi.

Pemeteraian kemudian dilakukan terhadap:

 Dokumen yang dipakai sebagai alat bukti di pengadilan, yang semula tidak dikenakan bea materai;

 Dokumen yang tidak atau kurang dilunasi bea materai sebagaimana mestinya;

 Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.



KAJIAN AKUNTANSI UNTUK BEA MATERAI

BEA MATERAI - BENDA MATERAI (KERTAS MATERAI DAN ATAU BENDA MATERAI)

Berdasarkan PMK no 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara, benda materai (kertas materai) termasuk golongan Persediaan dan kelompok Persediaan untuk Dijual/Diserahkan. Kode akun yang digunakan dalam penyusunan Laporan Keuangan (Neraca) yaitu akun 115121.



Apabila di akhir tahun masih terdapat deposit materai berupa kertas materai, maka kertas materai tersebut akan dicatat sebagai persediaan dengan ayat jurnal sbb:

Dr. Pita Leges, Materai, Cukai

Cr. Cadangan Persediaan

Nilai Pita Leges, Materai, Cukai akan disajikan di dalam Neraca sebagai akun Persediaan.



BEA MATERAI – PEMBUBUHAN TANDA BEA MATERAI (MESIN TERAAN MATERAI/TEKNOLOGI PERCETAKAN/SISTEM KOMPUTERISASI

Secara akuntansi terdapat 2 (dua) pihak dalam pembubuhan tanda bea materai, yaitu:

a. Pihak Pemerintah – Dirjen Pajak (DJP) selaku penerima pendapatan atas penjualan bea materai;

b. Pihak Instansi Pemerintah selaku pembeli bea materai.



Ad.a. Pihak Pemerintah - DJP selaku penerima pendapatan atas penjualan bea materai.

Apabila di akhir tahun masih terdapat sisa bea materai (saldo deposit bea materai) maka DJP mencatat sebagai Pendapatan Diterima Di Muka, yaitu pendapatan yang diterima oleh satuan kerja/pemerintah dan sudah disetor ke Rekening Kas Umum Negara, namun wajib setor belum menikmati barang/jasa/fasilitas dari satuan kerja/pemerintah, atau pendapatan pajak/bukan pajak yang telah disetor oleh wajib pajak/bayar ke Rekening Kas Umum Negara yang berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau penelitian oleh pihak yang berwenang terdapat lebih bayar pajak/bukan pajak.

Pendapatan diterima di muka timbul pada saat Pemerintah telah menerima pembayaran atas suatu pemberian jasa/fasilitas/pelayanan yang diberikan, tetapi belum menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Pendapatan diterima di muka terdiri dari pendapatan perpajakan diterima di muka dan PNBP diterima di muka.

Pendapatan diterima di muka disajikan sebagai pengurang pada informasi pendapatan secara akrual dan sebagai kewajiban jangka pendek pada Neraca.



Dalam kajian ini Bea Materai yang sampai akhir tahun oleh pihak instansi – pembeli belum menggunakan pelunasan bea materai dengan cara pembubuhan dengan mesin teraan materai dan lain lain maka oleh pihak DJP dinamakan Bea Materai Diterima di Muka, yaitu: bea materai yang telah dibayar oleh wajib bayar dan telah disetor ke rekening kas umum negara, namun pada sampai dengan tanggal pelaporan, belum sepenuhnya pemanfaatan bea materai dengan pembubuhan dengan mesin teraan materai dan lain lain dilakukan.

Sebagai Ilustrasi:

Pada tanggal 1 Juli 20X0 DJP menerima uang hasil penjualan bea materai sebesar Rp 60.000.000,-untuk masa 3 tahun mulai tanggal 1 Juli 20X0 sampai dengan 30 Juni 20X3. Total realisasi pendapatan DJP selama tahun anggaran 20X0 adalah sebesar Rp 4.000.000.000,-.

Pada tanggal 31 Desember 20X0, bagian dari bea materai yang menjadi pendapatan akrual (pendapatan diterima di muka) tahun anggaran 20X0 adalah 30 bulan (1 Januari 20X1- 30 Juni 20X3) sebesar Rp 50.000.000 (30/36 x Rp60.000.000).

Berdasarkan data tersebut, pendapatan secara akrual yang disajikan DJP adalah sebagai berikut:

Dalam penyajian informasi pendapatan secara akrual, Bea Materai Diterima di Muka tahun anggaran 20X0 sebesar Rp 12.000.000,- akan mengurangi pendapatan tahun 20X0.

Pendapatan diterima di muka sebesar Rp50.000.000 merupakan kewajiban yang harus disajikan di Neraca, sehingga Departemen ESDM perlu membuat jurnal penyesuaian pada tanggal 31 Desember 2009 sebagai berikut:

Dr. Ekuitas Dana Lancar Rp 50.000.000,-

Kr. Pendapatan Bea Materai Diterima di Muka Rp 50.000.000,-

Pendapatan Bea Materai Diterima di Muka disajikan sebagai kewajiban jangka pendek pada Neraca.

.

Ad.b. Pihak Instansi Pemerintah selaku pembeli bea materai.

Apabila di akhir tahun masih terdapat sisa bea materai (saldo deposit bea materai) maka Instansi Pemerintah – pembeli mencatat sebagai Belanja Dibayar di Muka adalah pengeluaran satuan kerja/pemerintah yang telah dibayarkan dari Rekening Kas Umum Negara dan membebani pagu anggaran, namun barang/jasa/fasilitas dari pihak ketiga belum diterima/dinikmati satuan kerja/pemerintah.

Belanja dibayar di muka terdiri dari Belanja Pegawai dibayar di muka, Belanja Barang dibayar di muka, Belanja Modal dibayar di muka, Belanja Bunga dibayar di muka, Belanja Lain-Lain dibayar di muka, dan Transfer ke Daerah dibayar di muka.

Belanja dibayar di muka disajikan sebagai pengurang pada informasi belanja secara akrual dan sebagai piutang pada neraca.

Beban Dibayar di Muka diakui ketika instansi pemerintah -pembeli mempunyai hak klaim untuk mendapatkan atau manfaat ekonomi lainnya dari entitas lain telah atau tetap masih terpenuhi, dan nilai klaim tersebut dapat diukur atau diestimasi. Dengan kata lain, Belanja Dibayar di Muka timbul karena instansi pemerintah -pembeli telah melakukan pembayaran atas barang/jasa kepada DJP yang barangnya/manfaatnya masih akan diterima pada periode berikutnya. Pada Neraca, Belanja Dibayar di Muka disajikan sebagai piutang.



Dalam kajian ini Bea Materai yang sampai akhir tahun oleh pihak instansi – pembeli belum menggunakan pelunasan bea materai dengan cara pembubuhan dengan mesin teraan materai dan lain lain maka oleh pihak instansi pemerintah – pembeli dinamakan Bea Materai Dibayar di Muka, yaitu: bea materai yang telah dibayar oleh instansi pemerintah - pembeli dan telah disetor ke rekening kas umum negara, namun pada sampai dengan tanggal pelaporan, belum sepenuhnya pemanfaatan bea materai dengan pembubuhan dengan mesin teraan materai dan lain lain dinikmati.





Rabu, 25 Februari 2009

KONSEPSI PENGELOLAAN FUNGSI BENDAHARA UMUM NEGARA

LATAR BELAKANG
Schiavo-Campo dan Tomassi (1999) mengungkapkan bahwa untuk mencapai transparansi fiskal diperlukan adanya kejelasan peran dan tanggung jawab. Di dalamnya diperlukan pengaturan penganggaran atau kerangka administrasi yang mencakup seluruh aktifitas budgetary dan extra-budgetary serta merinci tanggung jawab pengelolaan fiskal. Pengaturan ini terlihat dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam konsepsi Undang Undang ini posisi Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan diletakkan sebagai chief financial officer, sementara menteri/pimpinan lembaga sebagai chief operational officer. Dengan demikian diharapkan terjadi mekanisme check and balance yang mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Reformasi di atas yang diikuti dengan berbagai peraturan perundangan turunannya, terbukti mampu memperbaiki tata kelola keuangan negara, meskipun masih banyak hal yang perlu disempurnakan agar sejalan dengan UU Nomor 17/2003 tersebut. Salah satu hal yang perlu disempurnakan adalah belum efektifnya pengelolaan keuangan Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). Bagian anggaran ini perlu mendapat perhatian yang serius mengingat realisasi BAPP mencapai lebih dari setengah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, BAPP juga mempunyai sifat yang khusus, berbeda dengan bagian anggaran yang lainnya. Sifat khusus ini terletak pada dikuasainya anggaran BAPP oleh Menteri Keuangan, tetapi penggunaannya dapat dilakukan oleh kementerian negara/lembaga yang lain. Seperti diketahui menurut fungsinya transaksi BAPP digunakan untuk pertama, membiayai kewajiban tertentu pemerintah kepada pihak lain karena pelaksanaan undang-undang atau perjanjian (misal: cicilan utang dan bunga), kedua, memberikan bantuan kepada lembaga atau kepada masyarakat (misal: subsidi dan dana tanggap darurat), ketiga, memberikan bantuan kepada pemerintah yang lebih rendah tingkatannya (misal: DAU dan DAK), dan keempat, sebagai cadangan umum pemerintah (misal: pembiayaan pemilu dan dana operasional menteri).
Dalam rangka memperbaiki akuntabilitas pengelolaan BAPP telah dilakukan penetapan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan BAPP. Sistem ini telah diatur dalam dua Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan masing-masing dalam Perdirjen No. PER-67/PB/2005 dan Perdirjen No. PER-77/PB/2006 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan BAPP TA 2005 dan 2006. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih terdapat kesulitan untuk menghasilkan data yang akurat dan andal secara berjenjang. Kesulitan terutama disebabkan oleh belum dipahaminya substansi pengelolaan BAPP yang merupakan wewenang Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, sehingga sudah selayaknya pengelolaannya berada di bawah kendali Menteri Keuangan. Kesulitan lainnya dikarenakan oleh karakteristik transaksi BAPP yang tersebar di banyak unit organisasi di lingkungan Departemen Keuangan maupun di kementerian negara/lembaga. Penyebaran ini membuat penanggung jawab/kuasa pengguna anggaran dari masing-masing BAPP menjadi tidak jelas. Hal lain yang perlu dicermati adalah adanya mekanisme di luar APBN dalam pengelolaan keuangan BAPP yang tidak sesuai dengan semangat reformasi pengelolaan keuangan negara.
Oleh karena itu, dalam konsepsi Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat yang sedang disusun sekarang ini dimunculkan konsep mengenai Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara. Pemunculan sub sistem ini setidaknya dimaksudkan untuk:
1. Mendudukan peran Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam pengelolaan BAPP;
2. Membentuk pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran (entitas pelaporan/entitas akuntansi) BAPP sesuai tugas dan tanggung jawabnya untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan BAPP;
3. Mengurangi mekanisme di luar penganggaran yang ada dan sedapat mungkin menempatkannya ke dalam sistem penganggaran.

KERANGKA KONSEPTUAL
1. Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
2. Dalam pasal 6 ayat (2) disebutkan bahwa kekuasaan sebagaimana butir 1 tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
3. Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang atas 19 hal yang berhubungan dengan perbendaharaan. Wewenang tersebut bermula dari penetapan formulasi kebijakan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban penganggaran, dan lain-lain upaya pengelolaan keuangan negara serta wewenang untuk menunjuk Kuasa Bendahara Umum Negara.
4. Dalam Undang-Undang yang sama pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku BUN menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa entitas pelaporan terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian negara/lembaga dan Bendahara Umum Negara.
6. Dalam PP yang sama, pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa Laporan Keuangan BUN setidak-tidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK) dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
7. Kemudian dalam pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan negara dan menyampaikannya kepada Presiden.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Dari kerangka konseptual butir 3 dan 4 di atas, cukup jelas dinyatakan bahwa BAPP merupakan bagian dari wewenang Bandahara Umum Negara. Cakupan wewenang BUN sebagaimana pasal 7 ayat (2) yang meliputi seluruh aspek keuangan negara menempatkan Menteri Keuangan dalam kekuasaan yang menentukan untuk mengelola keuangan negara. Apabila dihubungkan dengan pasal 51 UU yang sama, wewenang ini diikuti dengan tanggung jawab untuk menjaga akuntabilitas pengelolaan keuangan negara melalui penetapan sistem akuntansi atas seluruh transaksi keuangan. Akan tetapi jika bersandar kepada sistem akuntansi yang ada saat ini, kompleksitas transaksi BAPP tidak tertampung secara menyeluruh. Sistem yang ada hanya mengatur akuntansi yang diselenggarakan oleh kementerian negara/lembaga untuk pencatatan traksaksi belanja/pendapatan dan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan dalam rangka pengelolaan kas. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi atas sistem akuntansi yang ada sehingga mampu mencakup seluruh aktivitas pengelolaan keuangan negara dan berada di bawah Menteri Keuangan. Konstruksi ulang atas pelaksanaan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) mengakibatkan perlu ditimbulkannya suatu sistem akuntansi bendahara umum negara. Sistem ini akan membawahi seluruh transaksi BUN, yang di dalamnya termasuk transaksi BAPP, sehingga peran dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menjadi jelas. Jadi, kerangka pemikiran selama ini yang menempatkan pencatatan BAPP di bawah Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dapat dikatakan sudah tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
Secara skematis pengaturannya dapat digambarkan sebagai berikut:
062, 069
070, 071
Menteri Keuangan
Pengelola BAPP
Pengelola Barang
(SIMAK-BMN)
DJPU (SA-UP)
Kuasa BUN (SiAP)
Selaku BUN
Selaku
Pimpinan Dep. Keuangan
Pengelolaan Utang & Hibah
Pengelolaan Investasi Pemerintah
Pengelolaan Penerusan Pinjaman
Pengelolaan Transaksi Khusus
Pengelolaan Badan Lain
Pengelolaan Belanja Subsidi & Belanja Lain-lain
PengelolaanTransfer ke Daerah
DJPK (SA-TD)
DJA, K/L (SA-BSBL)
DJPBN (SA-BL)
BKF, Setjen, DJPBN
DJKN (SA-IP)
DJPBN (SA-PP)
SAI Dep. Keuangan
PPh Migas, PNBP Migas & PNBP Migas lainnya, Penrimaan Laba BUMN Perbankan dan Non Perbankan

098
061, 096, 097, 101, 102
099
Kerjasama Internasional, Hukum Internasional, Jasa Perbendaharaan, PFK dan Koreksi Kesalahan


















Lebih lanjut, wewenang sebagai BUN membawa konsekuensi dikuasainya BAPP oleh Menteri Keuangan atau dengan kata lain Menteri Keuangan sebagai pengguna anggaran BAPP. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana mendistribusikan wewenang tersebut ke masing-masing unit organisasi di bawah Menteri Keuangan karena dalam pelaksanaannya, masing-masing tugas mempunyai persinggungan yang harus diatur kejelasan perannya. Pembagian tugas internal ini menjadi penting karena di dalamnya terdapat tanggung-jawab sebagai entitas pelaporan yang mewajibkan pembuatan laporan keuangan sebagai perwujudan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
1. Pengelolaan Utang dan Hibah
Pengelolaan utang dan hibah yang dilaksanakan oleh Ditjen Pengelolaan Utang pada dasarnya telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan best practice yang berlaku. Akan tetapi sampai saat ini mekanisme pengelolaan hibah masih perlu disempurnakan lagi. Dalam pengelolaan hibah, Ditjen Pengelolaan Utang berwenang sampai dengan persetujuan hibah ditandatangani, sementara Ditjen Perimbangan Keuangan berwenang untuk membuat penerusan hibah ke daerah dalam hal hibah tersebut diperuntukkan bagi pemerintah daerah tertentu. Pengelolaan ini tidak efektif mengingat kontinuitas pengelolaan hibah tidak berada di satu tempat yang berakibat pada realibilitas data hibah yang tidak terjaga. Untuk itu, seharusnya fungsi pengelolaan hibah diletakkan sebagai konsep yang menyeluruh mulai dari penandatanganan perjanjian hibah sampai dengan penerusannya ke daerah. Dan sesuai dengan tupoksinya, Ditjen Pengelolaan Utang merupakan instansi yang tepat untuk ditempatkan sebagai kuasa pengguna anggaran pengelolaan utang dan hibah.
2. Pengelolaan Investasi Pemerintah
Pengelolaan investasi pemerintah saat ini dikelola oleh beberapa unit organisasi di dalam ataupun di luar Departemen Keuangan. Investasi untuk kekayaan Negara yang dipisahkan dilaksanakan oleh Menteri Negara BUMN, investasi penyertaan modal negara berupa aset tetap dikelola oleh Ditjen Kekayaan Negara, pengelolaan dana investasi dilaksanakan oleh Ditjen Perbendaharaan, dan investasi berupa penerusan pinjaman ke BUMD dilaksanakan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan. Hal ini tidak sesuai dengan premis sebelumnya yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan selaku BUN menjadi pengguna anggaran BAPP. Sehingga seluruh pengaturan pengelolaan investasi pemerintah seyogyanya berada di bawah Menteri Keuangan. Untuk hal ini perlu ditetapkan kuasa pengguna anggaran yang membawahi seluruh pengelolaan investasi pemerintah. Dalam kaitan investasi, Ditjen Kekayaan Negara merupakan unit organisasi yang tepat untuk bertindak sebagai kuasa pengguna anggaran pengelolaan investasi pemerintah, karena investasi pemerintah berhubungan dengan pengelolaan kekayaan negara yang menjadi domain Ditjen Kekayaan Negara.

3. Pengelolaan Penerusan Pinjaman
Schiavo-Campo dan Tomassi (1999) mengemukakan bahwa sistem akuntansi dan pelaporan keuangan yang baik sangat dibutuhkan (krusial) bagi pengelolaan pengeluaran negara (public expenditure management), akuntabilitas dan pembuatan keputusan. Agar memenuhi kriteria yang baik, sistem akuntansi antara lain harus mempunyai prosedur yang jelas dan mengungkapkan secara penuh aktifitas pembiayaan anggaran (below the line) dan kewajiban.
Menurut prosedur yang ada saat ini, pengaturan utang/hibah dan penerusan pinjamannya merupakan dua hal yang terpisah dan tidak saling berhubungan dari sisi pelaporannya. Utang/hibah dari Negara donor diakuntansikan oleh Ditjen Pengelolaan Utang, sementara penerusan pinjaman diakuntansikan oleh Ditjen Perbendaharaan. Akan tetapi, dalam penerusan pinjaman terdapat aktifitas di luar mekanisme penganggaran yaitu dengan menempatkan dana tersebut ke dalam Rekening Dana Investasi/Rekening Pemerintah Daerah untuk penerusan pinjaman ke BUMN/Pemda. Pengeluaran dana pemerintah akan diakui sebagai investasi, sedangkan pembayaran kembali oleh BUMN/Pemda akan diakui sebagai penerimaan negara bukan pajak. Jadi dalam mekanisme ini terdapat dua kelemahan mendasar yaitu melibatkan aktifitas off-budget dan tidak adanya kesinambungan pencatatan utang/piutang pemerintah yang dapat mempengaruhi kejelasan transaksi pembayaran.
Sistem akuntansi yang baru, dengan demikian, mengharuskan perbaikan business process dari pengakuan utang dan penerusan pinjaman. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menempatkan semua aktifitas utang/piutang pemerintah dalam konteks penganggaran yang ada. Kondisi ini mengharuskan ditinjaunya kembali mekanisme piutang melalui RDI/RPD. Selanjutnya agar terjadi kesinambungan pencatatan, Ditjen Pengelolaan Utang melaksanakan Sistem Akuntansi Utang Pemerintah dan Ditjen Perbendaharaan melaksanakan Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman. Ditjen PU dikonsepsikan untuk mengakuntasikan utang/hibah pemerintah yang akan mempengaruhi posisi utang dalam neraca dan penerimaan pembiayaan dalam laporan realisasi anggaran. Sementara itu Ditjen Perbendaharaan dikonsepsikan untuk mengakuntasikan penerusan pinjaman kepada BUMN/Pemda yang akan mempengaruhi piutang dalam neraca dan pengeluaran pembiayaan dalam laporan realisasi anggaran. Pembayaran piutang oleh BUMN/Pemda akan mengurangi jumlah piutang sekaligus sebagai penerimaan pembiayaan dalam laporan realisasi anggaran.
Sistem akuntansi penerusan pinjaman di atas diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan piutang, karena secara substansi penerusan pinjaman kepada BUMN/Pemda merupakan piutang pemerintah. Apalagi jika mengingat sumber dana penerusan pinjaman dimaksud didapatkan dari utang, maka pengelolaannya seharusnya menunjukkan kehati-hatian yang tinggi (prudent).
4. Transfer kepada Pemerintah Daerah
Dalam Government Finance Statistics disebutkan sektor pemerintahan umum salah satunya terdiri dari sub sektor pemerintah lokal, tetapi konsep tersebut sampai saat ini belum dapat terlaksana mengingat pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan dua entitas yang berbeda dan tidak saling berhubungan langsung kecuali dalam rangka perimbangan keuangan. Dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara pasal 22 ayat (1) dikemukakan kewajiban Pemerintah Pusat untuk mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah. Dana tersebut diberikan oleh pemerintah dalam bentuk block fund yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai tugas dalam rangka desentralisasi. Untuk menangani pengelolaan belanja daerah/transfer dana ke daerah ini, Ditjen Perimbangan Keuangan adalah instansi yang tepat untuk ditunjuk sebagai kuasa pengguna anggaran. Hanya saja, penunjukkan ini akan membawa konsekuensi penyempurnaan mekanisme pencairan dana perimbangan.
Selama ini pembuatan SPM dalam rangka pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah bukanlah pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dana perimbangan. Dengan menempatkan BAPP sebagai bagian dari BUN yang merupakan wewenang Menteri Keuangan, maka menjadi jelas bahwa pengujian atas sahnya tagihan kepada negara dan penerbitan SPM seharusnya menjadi bagian dari Ditjen Perimbangan Keuangan. Maka dari itu, penempatan kuasa pengguna anggaran untuk menangani belanja daerah/transfer ke daerah sebaiknya diikuti penyesuaian business process pencairan dana perimbangan.
5. Pengelolaan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain
Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Subsidi yang kita kenal selama ini antara lain: subsidi pupuk, subsidi listrik, dan subsidi BBM melalui Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Selain itu terdapat subsidi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yaitu subsidi yang diberikan kepada para petani / kelompok tani/ koperasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan terciptanya pemerataan pembangunan khususnya dalam upaya peningkatan ketahanan pangan nasional. Dan pada saat ini pengelolaannya berada di Ditjen Perbendaharaan. Diharapkan ke depan hanya ada satu pihak dalam pengelolaan atas subsidi, sehingga tercipta suatu pertanggungjawaban yang jelas atas pengelolaan subsidi tersebut.
6. Pengelolaan Badan Lainnya
Badan Lainnya adalah badan pengelola dana masyarakat yang memperoleh fasilitas dari pemerintah (Badan Pengelola Dana Abadi Umat, BAZNAS), atau badan yang dibentuk dengan peraturan khusus (Badan Pengelola Kompleks Kemayoran, Otorita Batam), atau yayasan/koperasi di bawah Kementerian/Lembaga yang aktivitasnya di luar mekanisme APBN (Yayasan Gedung Veteran RI, Yayasan dan koperasi di lingkungan TNI, POLRI dan Kementerian/Lembaga). Pada saat ini belum terbentuk unit akuntansi atas Badan Lainnya, untuk sementara waktu pengelolaan Badan Lain dilakukan oleh Ditjen PBN cq Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan dengan menggabungkan laporan keuangan badan lainnya tersebut ke dalam LKPP.

7. Pengelolaan Transaksi Khusus
Selain transaksi yang umum seperti di atas, terdapat transaksi-transaksi yang spesifik yang dikelola oleh Departemen Keuangan, yang tidak seluruhnya berada dalam konteks penganggaran. Transaksi tersebut meliputi pengeluaran terkait keanggotaan Indonesia di badan internasional yang dikelola Badan Kebijakan Fiskal, pengeluaran terkait permasalahan hukum internasional yang dikelola Setjen Depkeu, dan pengeluaran dan penerimaan terkait jasa perbendaharaan, pembayaran PFK serta koreksi kesalahan yang dikelola oleh Ditjen Perbendaharaan. Mengingat kompleksitasnya, sebaiknya atas transaksi-transaksi khusus ini ditunjuk masing-masing satu kuasa pengguna anggaran yang membawahi satu jenis transaksi, sampai dengan adanya perbaikan business process transaksi. Dengan demikian terdapat kejelasan peran dan tanggung jawab pembuatan laporan keuangannya.
PENUTUP
Pelaksanaan SAPP dirasakan kurang tepat menyangkut pengaturan sistem akuntansi Bendahara Umum Negara dan BAPP. Dengan redefinisi konsepsi peraturan perundangan dimungkinkan terjadinya perubahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan yang mampu mengakomodasi munculnya suatu pengelolaan fungsi BUN. Sistem baru ini diperlukan untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan BAPP mengingat dalam sistem yang ada, pendekatan akuntansi BAPP hanya didasarkan pada Sistem Akuntansi Instansi yang dirasakan tidak sesuai dengan perundangan. Dengan perbaikan sistem maka diharapkan akan memperjelas peran dan tanggung jawab pelaksanaan akuntansi, sehingga menciptakan mekanisme yang sesuai dengan amanah undang-undang.



PENGERTIAN REHABILITASI, RENOVASI DAN RESTORASI DALAM KAPITALISASI ASET TETAP

PENGERTIAN REHABILITASI, RENOVASI DAN RESTORASI DALAM KAPITALISASI ASET TETAP

Pengertian

Terhadap aset tetap setelah perolehan, sering kita temukan adanya pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan aset tetap dimaksud. Pengeluaran tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok besar yaitu:

1. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan Aset Tetap yang rusak sebagian dengan tanpa meningkatkan kualitas dan atau kapasitas dengan maksud dapat digunakan sesuai dengan kondisi semula.

2. Renovasi
Renovasi adalah perbaikan Aset Tetap yang rusak atau mengganti yang baik dengan maksud meningkatkan kualitas atau kapasitas.

3. Restorasi
Restorasi adalah perbaikan Aset Tetap yang rusak dengan tetap mempertahankan arsitekturnya.

Pengeluaran yang dilakukan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset dan juga dianggap sebagai pengeluaran biasa yang tidak dikapitalisasi.

Kapitalisasi adalah penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut.

Dari uraian singkat tersebut diatas, maka belanja pemeliharaan yang dikeluarkan setelah perolehan aset tetap yang menambah dan memperpanjang masa manfaat dan atau kemungkinan besar memberi manfaat ekonomik di masa yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja harus dikelompokkan kedalam belanja modal dan dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset tetap dalam laporan keuangan.

Perlakuan Akuntansi dan Pelaporan

Pengeluaran setelah perolehan aset tetap dalam akuntansi dapat dikategorikan dalam dua kelompok yaitu:


1. Pengeluaran yang dapat dikapitaliasasi.
Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya, pengeluaran-pengeluaran sesudah perolehan aset tetap atau aset lainnya dapat juga dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset. Pengeluaran tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal yang menambam nilai aset jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas dan volume aset yang telah dimiliki.
Terkait dengan kriteria tersebut, maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa:

a.Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang diharapkan dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10 tahun. Pada tahun ke-7 pemerintah melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih dapat digunakan 8 tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10 tahun menjadi 15 tahun.
b.Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset tetap yang sudah ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output 200 KW dilakukan renovasi sehingga kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW.
c.Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap yang sudah ada. Misalnya, jalan yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh pemerintah menjadi jalan aspal.
d.Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan ukuran aset yang sudah ada, misalnya penambahan luas bangunan suatu gedung dari 400 m2 menjadi 500 m2

b.Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset tetap/aset lainnya.
Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap adalah pengeluaran untuk pengadaan baru dan penambahan nilai aset tetap dari hasil pengembangan, reklasifikasi, renovasi, dan restorasi. Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap meliputi :

§ pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin, dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah); dan;
§ pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap dikecualikan terhadap pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.
2. Pengeluaran yang tidak dapat dikapitalisasi.
Pengeluaran yang dimaksudkan untuk mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja. Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan gedung dan bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas, perbaikan peralatan dan sarana gedung, jalan, jaringan irigasi, peralatan mesin, dan lain-lain sarana yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya berdasarkan urain diatas,dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa:
1. Pengeluaran setelah perolehan aset tetap yang dapat dikapitalisasi dan memenuhi batasan nilai minimum dicatat dan dilaporkan sebagai penambaha nilai aset tetap, serta dianggarkan dalam Belanja Modal. Selanjutnya terhadap penambahan tersebut dilaporkan dalam Laporan Keuangan dan Laporan Barang Milik Negara.
2. Pengeluaran dengan tujuan Rehabilitasi aset tetap tidak dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset tetap, serta tidak dianggarkan dalam Belanja Modal dan dalam Laporan Barang Milik Negara.
3. Dalam pelaksanaan, jika terdapat pengeluaran dengan tujuan Rehabilitasi yang menyimpang dari ketentuan diatas, maka pengeluaran yang dilakukan harus dikapitalisasi sebagai penambah nilai aset tetap, serta dianggarkan dalam Belanja Modal. Selanjutnya terhadap penambahan tersebut dilaporkan dalam Laporan Keuangan dan Laporan Barang Milik Negara.
4. Pengeluaran dalam rangka renovasi dan restorasi sepanjang meliputi biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan kualitas dan atau kapasitas, dan memenuhi batasan nilai minimum dicatat dan dilaporkan sebagai penambaha nilai aset tetap, serta dianggarkan dalam Belanja Modal. Selanjutnya terhadap penambahan tersebut dilaporkan dalam Laporan Keuangan dan Laporan Barang Milik Negara.